Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai lebih dari 80.000 km dan ini membuatnya rentan terhadap perubahan iklim. Indonesia sebagai rumah bagi lebih dari seperlima hutan bakau dunia memiliki pertahanan alami terhadap air pasang yang tinggi. Oleh karena itu, perlindungan hutan bakau dan garis pantai sangat penting bagi negara berpenduduk lebih dari 270 juta orang ini.
Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), dengan luas lahan gambut 768.501 hektar, memiliki lebih dari separuh luas lahan gambut Sumatera Selatan. Selain itu, lebih dari 32.000 hektar hutan bakau memenuhi wilayah pesisir. Lahan gambut dan bakau di OKI berdekatan satu sama lain, menjadikan lokasi ini sebagai perwakilan unik dari ekosistem gambut dan bakau yang terhubung secara hidrologis.
Selain berperan penting dalam menopang kehidupan biota air laut yang dapat dimanfaatkan oleh nelayan tradisional, hutan mangrove juga berpotensi untuk mendukung strategi mitigasi perubahan iklim nasional. Setiap hektar hutan bakau mengandung 3-5 kali lebih banyak cadangan karbon daripada hutan dataran rendah, dan total cadangan karbon yang tersimpan di hutan bakau Indonesia diperkirakan lebih dari 3 miliar ton.
Sebagai bagian dari Visi Peta Jalan Keberlanjutan dan Kebijakan Konservasi Hutan, Asia Pulp and Paper (APP) melakukan bagiannya untuk mendukung upaya pemerintah Indonesia dalam merehabilitasi, melindungi, dan melestarikan hutan bakau. Karena lokasi pabrik OKI yang berdekatan dengan wilayah pesisir, maka perusahaan berkomitmen pada program pengembangan pengelolaan pesisir terpadu untuk Desa Simpang Tiga Abadi, bersama dengan pemerintah provinsi serta Temasek Foundation yang berbasis di Singapura dan Yayasan UBS. Proyek ini dijadwalkan berjalan dari September 2021 hingga Oktober 2024.
Program tersebut mencakup tata kelola mangrove dan pesisir di tingkat kabupaten yang meliputi kelembagaan, kebijakan, dan perencanaan, tindakan restorasi dan perlindungan di tingkat desa, mengembangkan rencana untuk meningkatkan dan mempromosikan penghidupan yang berkelanjutan dari penduduk desa di lokasi percontohan, dan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pesisir dan pantai terpadu. pengelolaan sumber daya laut.
Program Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA) di pesisir OKI diprakarsai Yayasan Konservasi Alam Nusantara sebagai respon terhadap degradasi mangrove di hutan lindung akibat pembangunan tambak udang yang berlebihan dan pembukaan hutan. Meskipun keduanya merupakan salah satu mata pencaharian utama masyarakat setempat, pemerintah daerah belum memiliki rencana dan kebijakan pengelolaan pesisir terpadu untuk mengelola masalah tersebut. Hal ini membuat usaha masyarakat desa sulit untuk didukung, baik oleh pemerintah, swasta, maupun LSM.
Oleh karena itu, program ini berupaya membantu pemerintah daerah mencegah degradasi hutan mangrove di masa mendatang, dan mengakomodir kepentingan masyarakat setempat agar kegiatan tambak mereka legal, dan membantu mereka memaksimalkan produksi tambak dengan teknik-teknik yang diperkenalkan oleh MERA, sehingga mereka melakukannya. tidak harus menggunduli hutan mangrove. Langkah-langkah yang dilakukan MERA berjalan paralel di tingkat provinsi, kabupaten, dan desa.
Melalui serangkaian penelitian, MERA membantu pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mengembangkan rencana tata kelola terpadu sebagai rekomendasi untuk perencanaan tata ruang dan juga zonasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Upaya ini diharapkan dapat menghasilkan model pengembangan restorasi mangrove yang dapat digunakan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.
Pemerintah daerah diharapkan dapat mendatangkan lebih dari 32.000 ha hutan bakau yang diatur, serta 494.680 hektar wilayah laut di pesisir OKI sebagai bagian dari perencanaan pengelolaan pesisir terpadu. Untuk mencapai hal ini, MERA akan membentuk Forum Multi-stakeholder untuk Pengelolaan Restorasi Ekosistem Mangrove di Sumatera Selatan untuk mengawal proses tersebut.
Sedangkan untuk masyarakat lokal, langkah awal yang dilakukan MERA adalah bekerja sama dengan pemerintah desa untuk menyusun rencana jangka menengah desa untuk menyinkronkan upaya MERA di tingkat provinsi dan kabupaten. Di sisi lain, penguatan BUMDes dan tambak juga akan menjadi perhatian utama. Setelah kebijakan pengelolaan hutan lindung (skema perhutanan sosial) diterbitkan, MERA menerapkan metode budidaya tambak yang efektif dan efisien untuk mereka. Jika produksi di tambak yang sama meningkat signifikan, maka mereka tidak perlu membuka tambak baru di kawasan mangrove.
Program ini menunjukkan bahwa kunci keberhasilan restorasi mangrove adalah upaya kolaboratif yang didukung oleh perencanaan yang baik, dan APP berkomitmen untuk melindungi alam dan memastikan keberlanjutan sumber dayanya. Kerjasama perusahaan dengan instansi terkait akan semakin kuat kedepannya sehingga dapat lebih berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim dengan menjaga stok karbon di ekosistem mangrove.